assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh selamat datang di Blog kami, Ulil Albab El-Qudsiy, yang memuat segala hal yang unik, menarik dan menyenangkan

Minggu, 16 Desember 2012

MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Maulid Nabi Muhammad SAW kadang-kadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد النبي‎, mawlid an-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.

Sejarah

Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem dan sekitarnya.

Perayaan di Indonesia

Masyarakat muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud, dan acara Muludan juga dirayakan dengan perayaan dan permainan gamelan Sekaten.

Perayaan di luar negeri


Perayaan Maulid di India.
Sebagian masyarakat muslim Sunni dan Syiah di dunia merayakan Maulid Nabi. Muslim Sunni merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awal sedangkan muslim Syiah merayakannya pada tanggal 17 Rabiul Awal, yang juga bertepatan dengan ulang tahun Imam Syiah yang keenam, yaitu Imam Ja'far ash-Shadiq.
Maulid dirayakan pada banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim di dunia, serta di negara-negara lain di mana masyarakat Muslim banyak membentuk komunitas, contohnya antara lain di India, Britania, Rusia dan Kanada. Arab Saudi adalah satu-satunya negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang tidak menjadikan Maulid sebagai hari libur resmi. Partisipasi dalam ritual perayaan hari besar Islam ini umumnya dipandang sebagai ekspresi dari rasa keimanan dan kebangkitan keberagamaan bagi para penganutnya.
Perkiraan tanggal Maulid, 2010-2013
Tahun Masehi 12 Rabiul Awal (Sunni) 17 Rabiul Awal (Syiah)
2010 26 Februari 3 Maret
2011 15 Februari 20 Februari
2012 5 Februari 10 Februari
2013 25 Januari 30 Januari
* Semua tanggal adalah perkiraan, karena tanggal aktual dapat berbeda sesuai dengan penetapan awal bulan (kalender) berdasarkan pengamatan fisik terhadap rembulan (benda astronomi).

Perbedaan pendapat

Terdapat beberapa kaum ulama yang berpaham Salafi dan Wahhabi yang tidak merayakannya karena menganggap perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah bid'ah, yaitu kegiatan yang bukan merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya sehingga keluar dari esensi kegiatannya. Namun demikian, terdapat pula ulama yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi bukanlah hal bid'ah, karena merupakan pengungkapan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW.

Jumat, 14 Desember 2012

KEJAHATAN PERANG ISRAEL TERHADAP PALESTINA



KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan judul  Artikel Kejahatan Perang Israel Terhadap Palestina

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah. Dalam makalah ini membahas tentang Artikel Kejahatan Perang Israel Terhadap Palestina

.Akhirnya saya sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri saya sendiri dan khususnya pembaca pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat saya harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.






KEJAHATAN PERANG ISRAEL TERHADAP PALESTINA
Kasus Posisi
Penegakan hukum pidana internasional berkaitan dengan hukum Humaniter berkaitan pengunaan senjata kimia terlarang yang dilakukan oleh Israel dan intervensi-intervensi asing dalam penyelenggaraan perperangan.
 Rumusan Masalah
Ketidakadilan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina pada perang perbatasan dijalur Gaza yang mengakibatkan banyak korban jiwa (sipil & angkatan bersenjata). Banyak anak kecil dan wanita yang meninggal, apakah mereka combantan?
Bagaimana pengunaan white-phosphorus (fosfor putih) yang termasuk senjata yang dilarang oleh Konvensi Pelarangan Menyeluruh Senjata Kimia (KPMSK). Pada tanggal 13 Januari 1993 diadakan penandatanganan KPMSK di Paris, di mana 130 negara menandatanganinya termasuk Israel?
Analisis Kasus
Hukum humaniter internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Baru pada pertengahan abad XIX, Negara-Negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional untuk menghindari penderitaan yang semestinya akibat perang peraturan-peraturan dalam suatu Konvensi yang mereka setuju sendiri untuk mematuhinya. Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaikan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Lembar Fakta ini menelusuri perkembangan hukum humaniter internasional dan memberi gambaran terkini tentang ruang lingkup dan pengertian hukum humaniter internasional bagi tentara maupun masyarakat sipil yang terperangkap dalam pertikaian bersenjata.
Pertama-tama, dibutuhkan suatu definisi. Apa arti hukum humaniter internasional? Kerangka hukum ini dapat diartikan sebagai prinsip dan peraturan yang memberi batasan terhadap penggunaan kekerasan pada saat pertikaian bersenjata. Tujuannya adalah:
• memberi perlindungan pada seseorang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat secara langsung dalam pertikaiann – orang yang terluka, terdampar, tawanan perang dan penduduk sipil;
• membatasi dampak kekerasan dalam pertempuran demi mencapai tujuan perang.
Perkembangan hukum internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan dengan hukum tentang perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan hak asasi manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang hak asasi manusia – seperti DUHAM (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandangan bahwa semua orang berhak menikmati hak asasi manusia, baik dalam keadaan damai maupun perang.
Selama keadaan perang atau keadaan darurat berlangsung, pemenuhan hak asasi tertentu mungkin dibatasi berdasarkan kondisi-kondisi tertentu. Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik mengijinkan Negara melakukan upaya-upaya yang bersifat sementara mengabaikan beberapa kewajiban Negara berdasarkan Kovenan “ketika terjadi keadaan darurat yang mengancam keselamatan bangsa,“ tapi hanya “sejauh yang sangat dibutuhkan oleh keadaan yang bersifat darurat.” Pasal 15 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia berisi aturan yang sama. Secara berkala, Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi Kaum Minoritas melakukan pembahasan tentang Negara dalam keadaan darurat dan penghormatan hak asasi manusia dalam situasi demikian.
Namun, kebutuhan agar hak asasi manusia tetap terjaga walaupun dalam waktu perang telah mendapat pengakuan sepenuhnya; Pasal 3 dari empat Konvensi Jenewa tentang hukum humaniter 1949 menyatakan bahwa pada masa pertikaian bersenjata seseorang yang dilindungi konvensi “dalam kondisi apapun diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan yang merugikan berdasarkan ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan, atau kriteria sejenis lainnya.”
Dalam sidang ke-43 Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi Kaum Minoritas (5-30 Agustus 1991), sebuah laporan dari Sekretaris Jenderal tentang pendidikan sehubungan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia saat terjadi pertikaian bersenjata, disajikan dalam Bagian 4 dari ketentuan agenda (E/CN.4/Sub.2/1991/5). Dua tahun sebelumnya Sub-Komisi menetapkan resolusi 1989/24 tentang “Hak Asasi Manusia pada Masa Pertikaian Bersenjata.
Resolusi No. 1990/60 yang mengakui peran penting Komite Palang Merah Internasional dalam menyebarkan hukum humaniter internasional dan mengajak Negara-negara untuk memberi perhatian khusus pada pendidikan bagi semua anggota keamanan dan militer lainnya, dan semua badan penegak hukum, mengenai hukum internasional tentang hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional yang berlaku ketika terjadi pertikaian bersenjata.
Tiga arus utama memberi kontribusi terhadap penyusunan hukum humaniter internasional. Ketiga arus itu adalah “Hukum Jenewa,” diberikan oleh Konvensi dan Protokol internasional yang terbentuk berdasarkan sponsor Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dengan perhatian utama pada perlindungan korban pertikaian; “Hukum Den Haag,” berdasarkan hasil Konperensi Perdamaian di ibu kota Belanda pada 1899 dan 1907, yang pada prinsipnya mengatur sarana dan metode perang yang diizinkan; dan usaha-usaha PBB menjamin penghormatan hak asasi manusia pada pertikaian bersenjata dan membatasi penggunaan senjata-senjata tertentu.
Dunia mengecam atas perbuatan yang dilakukan oleh Israel yang memakan korban yang besar. “Angkatan Darat Israel menyebutkan jumlah korban tewas Palestina selama serangannya terhadap daerah kantung yang dikuasai HAMAS itu sebanyak 1.166 tewas, 295 di antara mereka warga sipil, sementara pihak Palestina menyatakan 1.417 orang tewas, 926 warga sipil”. [1]

Bukankah ada banyak selisih yang terjadi pada jumlah korban sipil yang nilainya hampir mendekati 1.000 orang yang tewas dan belum yang luka-luka bahkan cacat seumur hidup. Diantara serangan Israel yang membantai banyak anak kecil dan perempuan, kejahatan perang paling jahat adalah penggunaan white phosphorus yang sangat mengerikan dan dilarang oleh dunia karena senjata kimia itu bukan saja mampu membunuh dengan cepat namun menimbulkan siksaan yang sangat mengerikan.
Terdapat sebuah artikel yang mampu menjelaskan lebih detail terkait penggunaan fosfor putih (white phosphorus) sebagai berikut :
“Dalam sistem periodik, fosfor berada pada perioda ke-3. Fosfor memiliki beberapa bentuk alotrop diantaranya adalah fosfor merah, fosfor putih dan hitam. Fosfor putih bentuknya lunak, titik lelehnya rendah dan kadang – kadang berwarna kekuning-kuningan sehingga sering disebut sebagai fosfor kuning. Fosfor putih sangat reaktif dan beracun. Fosfor putih terbakar ketika bersentuhan dengan udara dan dapat berubah menjadi fosfor merah ketika terkena panas atau cahaya. Fosfor putih juga dapat berada dalam keadaan alfa dan beta yang dipisahkan oleh suhu transisi -3,8°C. Fosfor merah kurang reaktif (lebih stabil) dan relatif tidak beracun serta menyublim pada 170°C pada tekanan uap 1 atm, tetapi terbakar akibat tumbukan atau gesekan Fosfor hitam mirip dengan grafit. Fosfor ini dapat dibuat dengan memanaskan fosfor putih pada tekanan tinggi. Fosfor hitam tidak stabil dan pada pemanasan 550oC berubah menjadi fosfor merah. Alotrop fosfor hitam mempunyai struktur seperti grafit atom-atom tersusun dalam lapisan-lapisan heksagonal yang menghantarkan listrik. Dalam dunia militer, fosfor putih (white phosphorus), dikenal dengan sebutan Willy Pete. Bahan kimia ini digunakan untuk menandai dan menyamarkan serta dapat difungsikan sebagai senjata pembakar. Serbuk ini digunakan untuk menghancurkan senjata lawan atau memperpendek jarak pandang musuh. Jika digunakan untuk menyamarkan, fosfor putih dicampur dengan material lain sehingga mudah terbakar serta mengeluarkan asap tebal berwarna putih.” [2]


Dalam artikel diatas telah jelas dipaparkan bahwa senjata ini bukan hanya akan menimbulkan suatu efek kematian tapi juga penyiksaan karena sebelum terjadinya kematian , korban harus merasakan kesakitan luar biasa akibat panas yang di timbulkan ketika mengenai kulit maupun terhirup sampai membakar paru-paru.
Oleh karena itu seharusnya Negara-negara di dunia wajib menuntut keadilan atas perbuatan yang dilakukan oleh Israel karena pelanggaran atas penggunaan senjata terlarang dan penyiksaan itu telah di atur pada :
  • Undang-undang ratifikasi Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on their Destruction (Konvensi tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta tentang Pemusnahannya) No 6 tahun 1998.
  • konvensi DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) dan Konvenan Internasional. “… menghormati pasal 5 DUHAM dan pasal 7 kovenan Internasional tentang Hak sipil & politik . Larangan terhadap penyiksaan bersifat mutlak sehingga semua negara wajib mengambil tindakan legislative, administrative, yudisial atau tindakan lainya yang efektif untuk memastikan pencegahan penyiksaan [3]
Banyak sekali para wartawan dari manca Negara yang meliput kejahatan yang dilakukan oleh Israel di sepanjang jalur gaza mulai bulan desember 2008 sampai bulan januari 2009 dengan fakta.
Bahwah Israel terbukti telah menggunakan fosfor putih yang tlah dilarang dunia sebagai senjata kimia yang harus dimusnahkan dan tidak boleh dipergunakan.Dan lihat bagaimana tentara Israel memperlakukan anak balita yang mungkin baru bias berjalan dengan mengacungkan senjata M-16 kearah kepala bocah kecil tak berdosa itu? Sekarang lihatlah para warga Palestina yang tertindas, apakah mereka tampak seperti combatan? Dan pantaskah mereka diperlakukan seperti itu?
Sekarang lihatlah seorang ayah yang melindungi anaknya dari hujan peluru pasukan bersenjata Israel yang terekam oleh kamera. Apakah mereka combatan? Apakah mereka bersenjata mematikan?
Banyak sekali bukti-bukti yang dimiliki media untuk menunjukan kekejaman dan pelanggaran berat Pidana Internasional juga melanggar hak asasi paling utama yaitu kehidupan. Sampai detik ini belum ada upaya yang berarti yang mampu diperlihatkan oleh PBB sebagai Lembaga Internasional yang memiliki misi utama menjaga perdamaian dunia.


 
Kesimpulan dan Saran
Israel telah melakukan kejahatan perang (war crime) dan termasuk kejahatan pidana berat internasional yang telah di kecam oleh seluruh Negara yang tergabung dalam PBB. Kenyataan sampai saat ini pelanggaran atas konvensi-konvensi yang dibuat antar Negara bahkan melibatkan dunia internasional belum mampu memberi keadilan atas hukum internasional. Selalu Negara-negara adidaya yang mampu menguasai dan mempermainkan semua perjanjian baik tertulis ataupun kebiasaan internasional.
Saran dari saya adalah membuat suatu organisasi atau lembaga baru yang menghilangkan diskriminasi hak veto dan pemersatu Negara-negara berkembang juga Negara kecil agar mampu melawan Negara-negara maju dan besar sehingga mampu tercipta perdamaian dan menghapus mafia besar yang selalu membuat carut-marut yang terjadi di ranah internasional. Bahkan krisis ekonomi global yang terjadi akibat inflasi keuangan Amerika akibat biaya perang tidak akan pernah terjadi lagi. Pada intinya Negara-negara kecil harus bersatu dan berani melawan mafia hukum internasional.

Kamis, 13 Desember 2012

Qudsiyyahku


Mengenal KHR. Asnawi Kudus

Biografi KHR. Asnawi
Kyai Haji Raden Asnawi itulah nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji yang ketiga hingga wafat. Adapun nama sebelumnya ialah Raden Ahmad Syamsi, kemudian sesudah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama berganti nama Raden Haji Ilyas dan nama inilah yang terkenal di Mekah. KH.R. Asnawi adalah putra yang pertama dari H. Abdullah Husnin seorang pedagang konveksi yang tergolong besar di Kudus pada waktu itu, sedang ibunya bernama R. Sarbinah. KH. R. Asnawi lahir di kampung Damaran, Kudus pada tahun 1281 H (1861 M), beliau termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 dari Kyai Haji Mutamakin seorang wali yang kramat di desa Kajen Margoyoso Pati, yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram. Sejak kecil beliau diajar oleh orang tuanya sendiri, terutama dalam mengaji Al-Qur’an. Setelah berumur 15 tahun beliau diajak oleh orang tuanya ke Tulungagung Jawa Timur untuk mengaji sambil belajar berdagang. Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang tuanya, beliau kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan Kyai H. Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum pergi haji. Selama di Mekah beliau berguru antara lain dengan Kyai H. Saleh Darat Semarang, Kyai H. Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha.
Menunaikan Ibadah Haji
Sewaktu umur 25 tahun beliau menunaikan ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, beliau mulai mengajar dan melakukan tabligh agama. Diantaranya pada setiap hari Jum’ah Pahing sesudah shalat Jumat beliau mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak 18 Km dari kota Kudus, dan ini dilakukan dengan jalan kaki. Beliau berkeliling di masjid-masjid sekitar kota bila melakukan shalat subuh.
Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu beliau juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adiknya, H. Dimyati, yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu beliau telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.
Mukim Di Tanah Suci
KH. R. Asnawi semula tinggal di rumah Syekh Hamid Manan Kudus, kemudian setelah kawin dengan ibu Nyai Hajjah Hamdanah (janda Almaghfurlah Kyai Nawawi Banten), beliau pindah tempatdi kampung Syamiah Mekah dengan dikaruniai 9 orang anak, tetapi yang hidup sampai tua hanya 3 orang yaitu: H. Zuhri, H. Azizah istri KH. Shaleh Tayu dan Alawiyah istri R.Maskub Kudus. Selama bermukim di tanah suci, di samping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, beliau masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. Beliau juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, diantara yang ikut belajar antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang, KH. Bisyri Samsuri Jombang, KH. Dahlan Pekalongan, KH. Shaleh Tayu, KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KH. A. Mukhit Sidoarjo. Disamping belajar dan mengajar agama Islam, beliau turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama dengan kawannya yang lain. Pada waktu beliau bermukim ini, pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu beliau bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan beliau dan Syekh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi ifta’-nya. (sayang, catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang keluarga KH. R. Asnawi lupa masalah apa yang dibahas beliau, meskipun sudah diberitahu).
Melihat tulisan dan jawaban beliau terhadap tulisan Syekh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan beliau. Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syekh Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan KH. Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati waktu perjumpaan yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan kepada beliau dan diatur agar beliau nanti yang melayani mengeluarkan jamuan. Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek kerumah Syekh Hamid Manan dan beliau sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap, bertanyalah tamu itu: Asnawi?; (Dimana Asnawi?), Asnawi? Hadza Huwa; (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk beliau yang sedang duduk di pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat beliau, seraya membuka kopiah dan diciumlah kepala  beliau sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek kepada Syeikh Hamid Manan: “Sungguh saya telah salah sangka, setelah berkenalan dengan Pondok Pesantren Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapuh”.
Pada tahun 1916 beliau meninjau tanah airnya yang ada di Kudus, serta mengadakan hubungan dengan kawan-kawannya antara lain Bapak Semaun, H. Agus Salim, Hos Cokroaminoto dan lain-lain dari tokoh SI. Berangkatlah beliau sendiri, sedang anak istri ditinggal di Mekah. Sesampainya di Kudus beliau bersama dengan kawan-kawannya mendirikan sebuah Madrasah yang di beri nama Madrasah Qudsiyyah pada tahun 1916 M. Dan tidak lama kemudian diadakan pembangunan Masjid Menara Kudus yang dilakukan secara gotong royong. Pada waktu malam hari para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya.
Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itu, terjadi suatu peristiwa huru-hara Kudus pada tahun 1918, dimana beliau dengan kawan-kawannya yang lain terpaksa harus menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah yang menghina Islam. Itulah sebabnya niat kembali ke tanah suci menjadi gagal, sedang istri dan anak masih di Mekah.
Huru-Hara Kudus
Di tengah-tengah umat Islam mengadakan gotong royong untuk membangun Masjid Menara yang dikerjakan siang dan malam, oleh orang-orang Cina diadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Oleh Ulama dan pemimpinpemimpin Islam telah mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawainya di muka Masjid Menara, mengingat banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari. Permintaan itu ternyata tidak digubris, bahkan dalam rentetan pawai itu ada adegan dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menamakan Cengge.
Pawai Cina yang datang dari muka Masjid Manara menuju ke selatan kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu dengan kendaraan gerobak dorong. Kedua-duanya tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang menarik songkro itu dipukul oleh orang Cina. Dengan adanya pemukulan terhadap orang Islam yang dilakukan oleh orang Cina, ditambah adanya Cengge yang menusuk perasaan umat Islam, maka terjadilah pertikaian antara para peserta pawai orang Cina dengan orang Islam yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu.
Sekalipun pertikaian ini dapat dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, namun orang-orang Cina belum mau menunjukkan sikap damai, bahkan masih sering melontarkan ejekan terhadap orang Islam yang tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui dari Kaligelis sampai menuju ke Masjid Manara Kudus. Karena itulah orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan terhadap penghinaan orang-orang Cina. Para ulama memandang beralasan untuk menyetujui adanya penyerangan pembelaan, tetapi tidak diadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina, pembakaran rumah maupun perampasan barang-barang milik orang Cina. Tetapi ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina dan tersentuhnya lampu gas pom sehingga menimbulkan
kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa. Dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah, maka para Ulama ditangkap dan dimasukkan dalam penjara. Akhirnya KH. R. Asnawi yang dituduh sebagai salah satu penggerak, dijatuhi hukuman selama 3 tahun. Semula di penjara Kudus, kemudian pindah di penjara Semarang bersama-sama dengan KH. Ahmad Kamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain.
Pada saat di penjara, istrinya (Nyai Hj. Hamdanah) beserta 3 orang putra-putrinya datang ke Kudus dari Mekah. Menurut cerita beliau, selama berada di penjara Kudus padasetiap malam Jum’ah, beliau mengadakan berjanjenan (membawa kitab Al-Barjanji) bersama dengan penghuni penjara dan selalu mengadakan shalat jama’ah lima waktu. Di samping itu, beliau sempat menterjemahkan kitab Al Jurumiyah (ilmu Nahwu) ke dalam bahasa Jawa, sayang karangan ini tidak dicetak dan disiarkan.
Keluar Dari Penjara
Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah keluar dari penjara beliau langsung terjun di tengah masyarakat untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang pemimpin masyarakat, diantaranya dengan berda’wah mengajar agama dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Diantara ilmu yang diutamakan oleh beliau adalah Tauhid dan Fiqih. Pada tahun 1927 berdiri pondok pesantren yang diasuh oleh beliau di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih (Langgar Dalem) dan mendapat dukungan dari para dermawan dan umat Islam di Kudus. Kegiatan beliau dalam melakukan tabligh tidak terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, akan tetapi meluas ke daerah lain untuk menyebarkan aqidah Ahlusunnah Wa al Jamaah antara lain sampai ke Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. Demikian juga dengan mengadakan pengajian yang diikuti oleh jama’ah dari daerah Demak, Jepara, dan Kudus.
Di pondok pesantrennya sendiri setiap tanggal 14 bulan hijriyah diadakan majelis taklim yang disebut “Patbelasan”, ribuan Muslimin dan Muslimat mendatangi majelis ini. Disamping itu, pada setiap tanggal 29 Rabiul Awal beliau juga menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad Saw. Kegiatan tersebut bersamaan dengan majelis khataman Al-Quran baik binnadzar maupun bil-ghaib yang diasuh oleh putranya, yaitu KH. Minan Zuhri.
Di samping melayani kebutuhan para santri yang ada di pondok pesantren tentang pengajian kitab, secara khusus di Pondok Pesantren juga mengadakan wiridan, antara lain: Khataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid Al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai beliau wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh Al-Hafidh KH. M. Arwani Amin sampai khatam. Sesudah selesai mendirikan pondok pesantren pada tahun 1927 M, pernah datang ke rumah beliau seorang tokoh Belanda yang faham tentang agama Islam bernama Van Der Plas. Kedatangannya di rumah untuk minta agar dilayani dengan bahasa Arab, demikian ujar petugas Kabupaten yang memberitahukan akan datangnya Van Der Plas dan menyampaikan kehendaknya. Adapun maksud Van Der Plas menemui beliau adalah bermaksud minta kesediaan beliau untuk memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas penawaran itu ditolaknya, sebab kalau diangkat sebagai penghulu tidak bebas lagi dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat, lain kalau beliau menjadi orang partikelir, dapat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap siapapun tanpa ada rasa segan (ewuh pekewuh).
Perjuangan KH. R. Asnawi
Pada tahun 1924 M beliau ditemui oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang untuk bermusyawarah untuk membuat benteng pertahanan Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah. Akhirnya beliau menyetujui gagasan KH. A. Wahab Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati.
Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati.
Pulang Ke Rahmatullah
Umur yang diberikan Allah tidaklah sama yang diharapkan masyarakat. Masyarakat dan umat Islam pada umumnya mengharap agar para Kyai dipanjangkan umurnya dan diberkahi kesehatannya. Tujuannya tiada lain mendampingi dan menata infrastruktur masyarakat dalam memegang subtansi ajaran agama. Namun Allah telah menghendaki terlebih dahulu memanggil KH. R. Asnawi menghadap keharibaannya.
Wafatnya ulama’ besar di Kudus ini tidak terduga. Sebab satu minggu sebelum wafatnya KH. R. Asnawi masih bermusyawarah dalam muktamar NU XII di Jakarta. Bersama dengan para Kyai NU se-Indonesia, KH. R. Asnawi masih nampak segar bugar. Dikisahkan oleh KH. Minan Zuhri, selama berlangsungnya muktamar, KH. R. Asnawi menginap di rumah H. Zen Muhammad adik kandung K.H. Mustain di Jalan H. Agus Salim Jakarta. Muktamar yang digelar pada tanggal 12-18 Desember 1959 merupakan muktamar terakhir yang dihadirinya. Mustain yang setia mengantar-jemput KH. R. Asnawi selama berjalannya muktamar dari rumah adiknya sempat tertegun. Karena pada saat menjemput beliau untuk menghadiri pembukaan Muktamar yang dihadiri Bung Karno, Mustain mendengarkan kalimat aneh dari KH. R. Asnawi: “Hai Mustain ! inilah yang merupakan terakhir kehadiranku dalam muktamar NU, mengingat keadaanku dan kekuatan badanku.” Tercenganglah Mustain mendengar perkataan itu. Spontan Mustain menyambung pembicaraan dengan mengatakan; “Kalau Kyai tidak dapat hadir dalam muktamar, maka sangat kami harapkan do’anya.”
Kemungkinan besar KH. R. Asnawi telah mengetahui akan tanda-tanda panggilan Allah untuk memanggil dirinya. Pukul 02.30 WIB Sabtu itu Asnawi bangun dari tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kamarnya untuk mengambil air wudlu. Setelah dari kamar mandi Asnawi dengan didampingi istrinya Hamdanah kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tidak berdaya. Dan kalimat syahadat adalah kalimat terakhir yang mengantarkan arwahnya. Waktu itu juga 26 Desember 1959 M/25 Jumadil Akhir 1379 H sekitar pukul 03.00 fajar, KH. R. Asnawi pulang ke rahmatullah.

Profil KH. Sya’roni Ahmadi

KH. Sya’roni Ahmadi


KH. Sya’roni Terlahir dari keluarga santri, sejak kecil beliau dikenal sebagai anak yang gandrung mengkaji agama, mulai dari al-Quran sampai tauhid, fikih, tasawuf dan sebagainya. Meskipun berasal dari keluarga dari ekonomi pas-pasan, terbukti beliau rajin mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan di kota Kudus dan sekitarnya. Sosok Sya’roni kecil termasuk anak yang cerdas. Pada usia 11 tahun sudah hafal kitab Alfiyah Ibnu Malik bahkan hafal al-Quran pada usianya yang ke-14.
Sya’roni merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Beliau ditinggalkan ibundanya semenjak kecil tepatnya ketika berusia 8 tahun. Sepeninggal ibunya kiai Sya’roni di asuh oleh sang ayah. Namun masa ini pun tidak berlangsung lama. Karena menginjak usiannya yang ke 13 tahun, kiai Sya’roni ditinggal oleh ayahnya.
Pada tingkatan pendidikan formalnya, Kyai Sya’roni pernah melewati pendidikan di Madrasah Diniyah Mu’awanah di Madrasah Ma’ahid lama -(pada masa KH. Muchit). Sedangkan pada pendidikan non formalnya, baliau belajar banyak dari satu tempat ke tempat lain. Untuk belajar al-Qur’an utamanya Qira’ah al-Sab’iyyah beliau berguru kepada KH. Arwani Amin Kudus yang mengasuh pondok Yanbu’ul Qur’an. Beliau juga sempat berguru kepada KH. Turmudzi, KH. Asnawi, KH. Turaikhan Ajjuhri dan lain-lain.
Kiai Sya’roni banyak dikenal sebagai sosok yang menguasai ilmu agama secara interdisipliner, dalam hal ini Kyai Sya’roni tidak hanya mahir dalam ilmu tafsir, tetapi juga dalam ushul al-fiqh, fikih, mantiq, balaghah dan sebagainya. Dalam hal al-Qur’an, baliau tidak hanya pandai membacanya namun juga pintar melagukannya bahkan beliau menjadi dewan Musabawah Tilawatil al-Qur’an (MTQ) tingkat nasional.
Setelah sekian lama bergumul dengan ilmu dan pengajian-pengajian, kiai Sya’roni akhirnya menikah pada tahun 1962. Beliau menyunting seorang gadis bernama Afifah. Dari pernikahan itu beliau dianugerahi 8 anak putra, 2 anak laki-laki dan 6 anak perempuan.
Model dan Strategi Dakwah
Kiai Sya’roni mulai berdakwah di masyarakat dalam usianya yang sangat muda. Dalam melaksanakan dakwah Islamiyah ini, Kiai Sya’roni menggunakan dua model. Pertama yakni model dakwah di masjid-masjid atau di sebuah rumah warga yang dijadikan tempat untuk mengaji; kedua adalah pengajian umum atau tabligh akbar.
Metode pertama ini biasanya dipakai dan dikonsumsi oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Pengajian yang dilakukan sudah ditetapkan jadwalnya dan proses pengajarannya pun dilakukan secara berkesinambungan. Sedang model kedua biasanya dipakai untuk berdakwah di luar daerah. Hal ini karena di samping masalah waktu yang tidak memungkinkan untuk berdakwah dengan model pertama juga terkadang karena permintaan dari penduduk setempat.
Dalam melakukan dakwah Islamiyah, sekitar tahun 1960 sampai 1970-an, Kiai Sya’roni dikenal sebagai tokoh yang sangat keras. Apalagi saat itu adalah masa-masa meruyaknya ideologi komunisme yang dilancarkan PKI.
Gaya ini selalu dipakai Kiai Sya’roni dalam berbagai kesempatan karena keadaan waktu itu mengandaikan demikian. Baik ketika khutbah maupun pengajian umum atau tabligh akbar beliau selalu tampil dengan mengambil hukum yang tegas ketika dihadapkan pada suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat (waqi’iyyah). Konon gaya seperti ini sering dipakai KH. Turaikhan dalam berdakwah.
Namun sekitar periode 1980-an, kiai Sya’roni mulai banting setir. Gaya dakwah yang selama ini dilakukan dengan nada keras dirubah total dengan memakai gaya yang melunak. Perubahan gaya dalam berdakwah ini dilakukan dengan pendekatan komparatif yakni merujuk kepada pergeseran masyarakat dari waktu ke waktu serta logika kebutuhan masyarakat yang tiap saat berubah. Karena masyarakat dari waktu ke waktu berubah maka metode berdakwah pun mesti berubah
Latar Politik
Kiai Sya’roni pada zaman penjajahan Belanda sempat terlibat dalam perang perang gerilya dalam rangka pengusiran Belanda dari muka bumi Indonesia. Tahun 1965 yakni masa pemberontakan PKI Kiai Sya’roni juga merupakan salah seorang yang menjadi target operasi yang dilakukan oleh PKI. Hal ini karena Kiai Sya’roni merupakan sosok yang rajin berkampanye dan membuat pengajian-pengajian. Kiai Sya’roni dengan tegas menolak ideologi komunisme PKI.
Dalam konteks kepartaian, pada 1955 Kiai Sya’roni merupakan sosok yang rajin berkampanye untuk partai ka’bah. Sampai dengan tahun 1970-an kiai Sya’roni juga sering terlibat aktif dalam partai NU sampai akhirnya NU mengambil keputusan kembali ke Khittah 1926 dalam Muktamar Situbondo. Dan beliau merupakan orang NU yang mendukung kembali khittah NU 1926. Adapun pasca khittah NU kiai Sya’roni juga sempat terlibat di Partai persatuan Pembangunan (PPP). Namun beliau hanya bermain di belakang layar dan tidak berada di garis struktural kepartaian. Beliau cenderung mengambil posisi netral.
Langkah ini menjadikan kiai Sya’roni mampu diterima oleh semua kalangan. Hubungan dengan pemerintah daerah yang waktu itu didominasi oleh Golkar tetap terjaga dengan baik. Ditambah lagi dengan pembawaan beliau yang lunak dan halus. Baliau juga sangat menghindari kepentingan partai dalam setiap pengajian yang dilakukan. Kegiatan kultural kiai Sya’ronipun tetap berjalan dengan baik. Bahkan beliau menjadi sosok yang disegani, baik oleh pemerintah daerah maupun kelompok-kelompok yang lain.
Karya-Karya
Kiai Sya’roni merupakan sosok yang bukan hanya pandai membaca kitab dan berpidato, namun beliau juga tergolong produktif dalam berkarya. Tercatat beliau kerap menulis, mensyarah dan menterjemah beberapa kitab yang digunakan untuk mengajar. Kitab-kitab tersebut banyak dikonsumsi pleh madrasah-madrasah di kota Kudus. Adapun karya-karya tersebut adalah :

1. Al-Faraid al-Saniyah

Kitab ini banyak mengupas tentang doktrin ahlusunnah wal jama’ah. Penyusunan kitab ini konon diilhami oleh kitab Bariqat al-Muhammadiyah ‘ala Tariqat al-Ahmadiyah milik KH. Muhammadun Pondowan, Tayu, Pati yang saat itu rajin berpidato dan mengisi pengajian untuk menolak gerakan Muhammadiyah di kota Kudus. Kiai Sya’roni menulis kitab ini selama kurang lebih dua tahun.
2. Faidl al-Asany

Kitab ini terbagi ke dalam tiga juz dan banyak membahas tentang Qira’ah al-Sab’iyyah.
3. Al-Tashrih al-Yasir fi ‘ilmi al-Tafsir

Kitab ini banyak mengupas tentang tafsir al-Qur’an mulai dari pembacaan, lafal-lafalnya, sanad, arti-arti yang berhubungan dengan hukum dan sebagainya. Kitab setebal 79 halaman ini ditulis pada tahun 1972 M/1392 H
4. Tarjamah Tarsil al-Turuqat

Kitab ini membahas ilmu manthiq
5. Tarjamah al-Ashriyyah

Kitab ini membahas ilmu Ushul al-Fiqh yang banyak mengupas tentang lafadz ‘amm dan khas, mujmal dan mubayyan, ijma, qiyas dan sebagainya. Kitab ini disusun pada hari ahad siang tanggal 29 Juni 1986 M/21 Syawal 1406 H
6. Qira’ah al-Ashriyyah

Kitab ini terdiri dari tiga juz. Penyusunan kitab ini dimaksudkan, sebagaimana penuturan kiai Sya’roni, untuk memudahkan para santri atau para siswa dalam mempelajari kitab kuning.
Di Kudus, Kiai Sya’roni telah memberikan banyak hal. Tradisi santri yang sekarang ini lekat dengan masyarakat Kudus rasanya tak bisa dilepaskan dari jasa beliau. Pengajian rumahan atau di masjid-masjid seperti di masjid al-Aqsha Menara Kudus masih rutin dijalankan. Pengajian tersebut diantaranya adalah membaca al-Qur’an dan tafsir al-Qur’an. Adapun waktunya ba’da shubuh, pukul 7-8 pagi dan setelah maghrib. Dalam setiap pengajiannya, kiai Sya’roni juga mampu men-setting iklim toleransi antara beberapa kelompok yang ada, sebut saja kaum Nahdliyyin dan Muhammadiyah.
Dalam bidang pengembangan fisik, kiai Sya’roni banyak memberikan jasa dalam mengembangkan madrasah-madrasah di kota Kudus, seperti Madrasa Banat NU, Muallimat, Qudsiyyah, Tasywiq al-Thullab al-Salafiyah (TBS), dan Madrasah Diniyah Keradenan Kudus. Kiai Sya’roni juga tercatat sebagai penasehat Rumah Sakit Islam YAKIS dan menjabat mustasyar NU cabang Kudus. Beliau juga mengisi pengajian rutin tiap ahad pagi di Masjid Jama’ah Haji Kudus (JHK).

AL-MUBAROK QUDSIYYAH

Album Al-Mubarok Qudsiyah Kudus 

Alhamdulillah pada kesempatan ini kami tampilkan Album terbaru dari Al Mubarok Qudsiyyah Kudus yang ke 9 ditahun 2011. Album ini merupakan sholawat yang mempesona selain Sholawat Asnawiyah tentunya terbaik menurut penulis yakni Hadza Rosulullah dan Syaikhona serta Bil Maulidil Hadi. Album IX Al Mubarok bertajuk "Rayuanku" ini dilaunching ke para penggemar bersamaan dengan acara Haul Masyayikh IKAQ.
Album ini Lauching tanggal 13 Mei 2011, selain itu lauching Juaga NSP untuk Handphone pencinta sholawat.
salah satu lagu andalan yang berkolaborasi dengan Habib Syech serta seniman lainnya adalah lagu berjudul Hadza Rasulullah. Salah satu keistimewaan lain dalam album Al-Mubarok kali ini adalah lagu dengan judul Syaikhuna. Lagu yang diciptakan sendiri oleh santri Qudsiyyah. Miftah Rahman ini, adalah lagu yang menceritakan riwayat KH Ma'ruf Irsyad, sesepuh madrasah Qudsiyyah yang meninggal dunia Oktober tahun 2010 lalu. Lagu ini berisikan biografi beliau serta ajaran-ajaran dari beluau yang patut diteladani. Berikut ini Daftar lagu sholawatnya :

1. Hadza Rasulallah voc. Gus Ilham

2. Indonesia voc.Mushofa Achmad

3. Bimaulid Al-Hadi voc. Wahid elfaranby

4. Pengakuan voc. Gus Apank & Gus Ilham

5. Muhammadun voc. Abd Ghofur  

6. Ya Bayyan Voc. Hafidlin & Alif 

7. Shollu 'Ala voc. Gus Apit 

8. Vina voc. Apip,wahid,iim

9. Syaikhona voc. Gus Apank & Gus ilham 

10. Asnawiyyah voc. Gus Apank & Gus ilham 

PROFIL MADRASAH SALAF QUDSIYYAH

Profil & Sejarah Madrasah Qudsiyyah

1. Masa Formulasi (1917 M-1943) M.

Madrasah Qudsiyyah, sebagai salah satu madrasah tertua di Kudus, mempunyai sejarah yang cukup panjang. Madrasah Qudsiyyah tidak serta merta hadir dan menjadi besar, melainkan mengalami proses jatuh bangun yang cukup melelahkan.
Sebelum Budi Utomo menggelorakan Kebangkitan Nasional pada 1920 M, Madrasah Qudsiyyah telah berdiri tegak mengembangkan sayap-sayap pendidikan agama yang anti penjajah. Tercatat sejak 1917 M, kegiatan belajar mengajar telah dimulai, walaupun saat itu belum memiliki nama dan tempat belajar yang pasti. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1919 M, yang bertepatan dengan tahun 1337 H, Madrasah Qudsiyyah resmi didirikan oleh KHR. Asnawi.
KHR. Asnawi adalah keturunan dari Sunan Kudus yang ke XIV dan keturunan kelima dari KH.A Mutamakin. Wali di zaman Sultan Agung Mataram di Kajen Margoyoso Pati. Wajar saja apabila yang dilaksanakan beliau tidak jauh beda dari para pendahulunya. Baik dari pola pendidikan dan dimensi penegakan reputasi agama Islam.
Nama asli KHR. Asnawi adalah Ahmad Syamsi, kemudian berganti nama lagi menjadi Ilyas. Gelar raden yang juga disebut sebelum nama Asnawi mempunyai arti sendiri. Raden sebagaimana ditentukan oleh keluarga adalah sebutan dari anak turun (dzurriyah) Nabi Muhammad yang sudah terpotong oleh nasab puteri. Berbeda dengan sayyid, kalau sayyid semuanya sambung dari nabi hingga yang bersangkutan dari anak laki-laki.
Sedangkan panggilan kiai yang disematkan kepada beliau lebih karena partisipasi beliau dalam masyarakat. Ini setidaknya tampak dari 2 sisi. Pertama, KHR. Asnawi memang seorang yang faqih dan benar-benar ahli dalam bidang agama. Kedua, KHR. Asnawi adalah pemangku dan pengasuh pondok pesantren sebagai pemimpin agama. KHR. Asnawi tidak mau menjauh dari kebutuhan umat. Bahkan beliau terkenal sangat memiliki sifat marhamah. Wibawanya besar, galak, keras dalam menetukan hukum, lebih-lebih terhadap anak-anak seusia 4-6 tahun.
Dalam konteks mendidik ini pula Qudsiyyah didirikan. Gedung Madrasah Qudsiyyah yang didirikan KHR. Asnawi saat itu berada di Kompleks Masjid al-Aqsha, tepatnya di depan gapura masuk Menara Kudus.
Nama Qudsiyyah diambil dari kata Quds yang berarti suci dan sekaligus nama kota tempat kelahiran madrasah tersebut. Nama tersebut digunakan dengan maksud agar apa yang diajarkan serta diamalkan dalam madrasah menjadi benar-benar suci dan murni tidak dicampur-adukkan dengan yang kurang baik.
Dalam perjalanan panjang tentang sejarah madrasah, kondisi madrasah pada masa penjajahan Belanda diurus oleh Departemen voor Inlandsche Zaken, sebuah departemen pengajaran agama di lembaga pendidikan Islam (pesantren dan madrasah). Namun, Madrasah Qudsiyyah tetap bertahan dan tidak terpengaruh dengan lembaga pemerintah Belanda tersebut. Justru KHR. Asnawi sering melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan Belanda.
Hal ini terjadi lantaran pada praktiknya fungsi lembaga Belanda tersebut tidak menangani masalah pendidikan Islam dalam arti memfasilitasi, melainkan lebih merupakan sarana untuk mengontrol dan mengawasi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Oleh karenanya, pesan-pesan perjuangan melawan kolonialisme pada setiap kali beliau mengajar di madrasah senantiasa disampaikan kepada santri-santrinya.
Boleh dibilang, KHR. Asnawi adalah benteng anti penjajah di semenanjung utara Jawa. Ketika beliau melihat presure penjajah semakin kuat dalam membelenggu umat Islam, KHR. Asnawi tampil dengan jiwa kritisnya menyatakan amar ma’ruf nahi munkar. Segala hal yang dianggap menyimpang dari pemerintah Belanda beliau berani mengkritik.
Untuk menyatukan visi keiIslamannya, KHR. Asnawi bergabung kembali dengan Serikat Islam Cabang Kudus. Jabatan komisaris bagi Asanawi sudah disandangnya ketika berdiri Serikat Islam Cabang Makkah tahun 1912 M. Aktifitasnya di Serikat Islam ini menjadikan beliau akrab dengan Samaun dan H. Agus Salaim serta HOS Cokroaminoto.
Hingga tahun 1929 M, Madrasah Qudsiyyah dipimpin langsung oleh K.H.R. Asnawi sebagai kepala sekolah dan didampingi oleh KH. Shafwan Duri. Pada tahun 1929 M-1935 M Madrasah Qudsiyyah dipimpin oleh K. Tamyiz sebagai kepala sekolah. K.H.R. Asnawi sendiri, memimpin pondok pesantren Raudlatuth Thalibin yang didirikan pada tahun 1927 M di Bendan, Kerjasan Kudus. Pada tahun 1935 M, K. R. Sujono memimpin Qudsiyyah sampai dengan tahun 1939 M. Setelah K.R. Sujono wafat, Madrasah Qudsiyyah kemudian dipimpin oleh K.H. abu amar mulai tahun 1939 M sampai tahun 1943 M.

2. Masa Kemunduran (1943-1950)

Buntut dari pemerintahan Dai Nippon Jepang yang menguasai Indonesia pada tahun 1943 M, ternyata berpengaruh terhadap pendidikan di Madrasah Qudsiyyah Kudus. Madrasah mengalami kemunduran drastis, bahkan hingga dilakukan penutupan.
Awalnya ketika Jepang berkuasa, pemerintah Dai Nippon rupanya mencurigai kepada umat Islam. Tidak hanya sekadar curiga, bahkan pemerintah dengan tegas melarang mengajarkan semua pelajaran agama di madrasah-madrasah dengan tulisan arab. Jadi, saat itu semua pelajaran agama harus ditulis dengan huruf latin.
Kebijakan tersebut membuat Madrasah Qudsiyyah menjadi salah satu korban. Pasalnya, berbagai pelajaran agama yang dahulunya menggunakan Bahasa Arab serta tulisan arab, kini dalam pengajarannya harus dijalankan dengan menggunakan tulisan latin.
Hal tersebut menyebabkan ketidaknyamanan di Madrasah Qudsiyyah. Alasannya, akan sangat berbeda tulisan dengan menggunakan tulisan arab diganti dengan tulisan latin. Selain itu, dalam pelaksanaannya madrasah-madrasah yang ada juga sering didatangi serdadu Dai Nippon. Sehingga berakibat jalannya pendidikan di madrasah-madrasah sangat terganggu.
Hal ini kemudian membuat Madrasah Qudsiyyah merasa sangat terganggu. Dengan pertimbangan yang masak-masak oleh para Guru Madrasah Qudsiyyah, akhirnya keputusan pahit pun diambil, dan untuk sementara waktu Madrasah Qudsiyyah ditutup. Salah satu penyebab dari penutupan Madrasah Qudsiyyah Kudus adalah kekejaman tentara jepang yang terus mencurigai serta tidak diperkenankannya mengajar dengan menggunakan Bahasa Arab.
Namun, pendidikan yang dilakukan madrasah tidak berhenti begitu saja. Pendidikan di madrasah dialihkan dengan pengajian al-qur’an pada setiap ba’dal maghrib yang diatur dengan kelas-kelas. Namun hal ini tidak bertahan lama, dan pada akhirnya berhenti juga. Praktis dalam masa ini pendidikan di madrasah lumpuh total.

3. Masa kebangkitan (1950-sekarang)

Masa penjajahan Jepang pun segera berakhir. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia telah didengungkan ke dunia pada 17 Agustus tahun 1945. Namun, di awal kemerdekaan tersebut Madrasah Qudsiyyyah belum juga bangkit dari tidur panjangnya. Dan ternyata, cukup lama juga Madrasah Qudsiyyah tertidur dan kosong dari segala aktifitas. Barulah sekitar tahun 1950 M, Madrasah Qudsiyyah kembali menemukan ruhnya untuk bangkit kembali.
Perkembangan pendidikan di Madrasah Qudsiyyah semakin hari semakin meningkat hingga pada tanggal 25 Mei 1952 terwujudlah tingkat lanjutan pertama yang dinamakan Sekolah Menengah Pertama Islam Qudsiyyah (SMPIQ) dan mendapat perhatian penuh dari masyarakat.
Semakin hari, sambutan dari masyarakat Kudus begitu besar terhadap pendidikan di Madrasah Qudsiyyah ini. Sehingga jumlah murid dari hari ke hari terus bertambah dan menyebabkan tingkat lanjutan dibagi menjadi dua, yaitu SMPI Qudsiyyah dan Pendidikan Guru Agama (PGA) Qudsiyyah. Pada tahun 1957, PGA Qudsiyyah dihapuskan dan SMPI Qudsiyyah dirubah namanya menjadi Madrasah Tsanawiyyah Qudsiyyah.
Pada tahun 1970-an, Madrasah Qudsiyyah juga pernah membuka Madrasah Diniyyah sore hari. Keberadaan diniyyah ini berlangsung selama lima tahunan.
Pada akhir tahun 1973 M, Madrasah Qudsiyyah mendirikan jenjang Aliyah untuk menampng alumni Tsanawiyahnya. Sejak itu, Madrasah Qudsiyyah semakin berkembang hingga sekarang.